Pasal 28 A sampai 28 J
Pasal-pasal dalam Bab X A UUD 1945 mengatur hak asasi manusia yang juga mencakup kewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain. Meskipun pasal-pasal ini lebih banyak mengatur tentang hak-hak warga negara, setiap hak yang dimiliki oleh individu juga dibarengi dengan kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain. Kewajiban ini termasuk dalam hal kebebasan berpendapat, beragama, dan hak atas pekerjaan yang layak.
Misalnya, dalam Pasal 28 J Ayat (1) diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan wajib memenuhi kewajiban sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Isi Pasal 28 J Ayat (1):
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak asasi manusia lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Dengan demikian, kewajiban warga negara adalah untuk tidak hanya memperjuangkan hak mereka sendiri, tetapi juga menghormati hak orang lain, demi terciptanya keharmonisan dalam masyarakat.
Pasal ini mengatur kewajiban negara untuk melindungi fakir miskin dan anak-anak yang terlantar. Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan sosial kepada mereka yang membutuhkan, yang pada gilirannya merupakan tanggung jawab bersama antara negara dan warga negara.
Isi Pasal 34 Ayat (1):
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
Kewajiban warga negara dalam hal ini adalah turut mendukung kebijakan negara dalam menyediakan kesejahteraan sosial bagi mereka yang kurang mampu. Ini bisa berupa kontribusi langsung maupun melalui kegiatan sosial yang mendukung program-program kesejahteraan negara.
Terima kasih untuk pertanyaan Anda.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pasal 264 KUHP – Pemalsuan Dokumen untuk Penipuan
Pasal 264 KUHP mengatur tentang pemalsuan dokumen yang digunakan dalam rangka penipuan atau untuk memperoleh keuntungan secara ilegal. Isi Pasal 264 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan sengaja memalsukan dokumen atau surat, yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti atau alat transaksi yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Penjelasan: Pasal ini berfokus pada pemalsuan dokumen yang digunakan untuk tujuan penipuan. Pemalsuan dokumen dapat mencakup surat perjanjian, akta otentik, atau dokumen resmi lainnya yang digunakan untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.
Pasal 64 KUHP – Pemberatan Hukuman dalam Penipuan Berulang
Pasal ini memberikan ketentuan tentang pemberatan hukuman bagi pelaku penipuan yang melakukannya berulang kali atau dalam skala yang lebih besar. Isi Pasal 64 KUHP:
“Apabila perbuatan penipuan dilakukan oleh pelaku yang telah berulang kali melakukannya atau dengan cara yang lebih terorganisir, maka pidana yang dijatuhkan dapat lebih berat dari ketentuan yang ada.”
Penjelasan: Pasal ini memberikan kemungkinan pemberatan hukuman bagi pelaku penipuan yang terbukti melakukan tindak pidana penipuan secara berulang atau dalam bentuk yang lebih terstruktur, seperti penipuan dengan modus tertentu yang lebih rumit.
Pasal 490 KUHP – Penipuan dalam Perkawinan
Pasal ini mengatur penipuan yang berkaitan dengan perkawinan, terutama terkait penipuan yang dilakukan dengan tujuan mengelabui pihak lain dalam proses perkawinan. Isi Pasal 490 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud menipu, membuat perjanjian nikah atau perkawinan yang tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.”
Penjelasan: Pasal ini mengatur tentang penipuan yang terjadi dalam konteks pernikahan atau perjanjian perkawinan, yang melibatkan kebohongan atau pemalsuan informasi mengenai status atau persyaratan perkawinan.
Bunyi Pasal 374 dan Pasal 375 UU 1/2023
Lebih lanjut, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[7] yaitu tahun 2026, tindak pidana pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 374 jo. Pasal 79 ayat (1) huruf g
Setiap Orang yang memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dengan maksud untuk mengedarkan atau meminta mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VII, yaitu Rp5 miliar.
Pasal 375 jo. Pasal 79 ayat (1) huruf g dan h
Lebih lanjut, berdasarkan Penjelasan Pasal 374 UU 1/2023, dalam ketentuan ini, uang yang dipalsu atau ditiru tidak hanya mata uang atau uang kertas Indonesia, tetapi juga uang negara asing. Hal ini didasarkan Konvensi Internasional mengenai uang palsu tahun 1929 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU 6/1981 tentang pengesahan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Uang Palsu beserta Protokolnya (International Convention for The Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929).
Ketentuan selengkapnya mengenai tindak pidana pemalsuan mata uang dan uang kertas, dapat Anda temukan dalam Pasal 374 s.d. Pasal 381 UU 1/2023.
Baca juga: Tak Tahu Uang Palsu, Bisakah Dipidana Jika Membelanjakannya?
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”)
[2] Pasal 1 angka 2 UU Mata Uang
[3] Efrita Amalia Assa (et.al). Tindak Pidana Pemalsuan Uang oleh Korporasi menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Jurnal Lex Crimen, Vol. X, No. 3, 2021, hal. 17
[4] Recky V. Ilat. Kajian Pasal 245 KUHP tentang Mengedarkan Uang Palsu kepada Masyarakat. Jurnal Lex Crimen, Vol. V, No. 5, 2016, hal. 79
[5] Eggi Suprayogi dan Yeni Nuraeni. Pertanggungjawaban Hukum terhadap Pelaku Penyimpanan Uang Rupiah Palsu dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Presumption of Law, Vol. 3, No. 2, 2021, hal. 132
[6] Priscillia Tiffany Sutantyo. Penyimpanan Mata Uang Asing Palsu dan Penggunaan Uang Hasil Transfer Dana yang Bukan Miliknya (Suatu Tinjauan dari KUHP dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Jurnal Hukum Pidana Islam, Vol. 6, No. 2, 2020, hal. 485
[7] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Tindak pidana fitnah diatur dalam Pasal 311 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, yang berbunyi:
Isi dan Penjelasan Pasal 434 UU 1/2023
Kemudian, pasal tindak pidana fitnah diatur dalam Pasal 434 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026, sebagai berikut:
Adapun Pasal 433 UU 1/2023 yang disebutkan dalam Pasal 434 ayat (1) UU 1/2023 mengatur tentang pencemaran nama baik.
Kemudian, menurut Penjelasan 434 ayat (2) huruf a UU 1/2023, dalam hal pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran dari apa yang dituduhkan, tetapi ia tidak dapat membuktikan bahwa yang dituduhkan itu benar, pelaku tindak pidana dipidana sebagaipemfitnahan.
Lalu, pembuktian kebenaran tuduhan hanya dibolehkan apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran bahwa terdakwa melakukan perbuatan itu untuk kepentingan umum, atau karena terpaksa membela diri. Pembuktian kebenaran tuduhan juga diperbolehkan apabila yang dituduh adalah seorang pegawai negeri dan yang dituduhkan berkenaan dengan menjalankan tugasnya.[3]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Rivaldi Exel Wawointana (et.al). Sanksi Pidana Bagi yang Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, Vol., XII, No. 2, 2023.
[1] Rivaldi Exel Wawointana (et.al). Sanksi Pidana Bagi yang Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, Vol. XII, No. 2, 2023, hal. 3
[3] Penjelasan Pasal 434 ayat (3) UU 1/2023
Pendidikan merupakan salah satu hak mendasar. Berikut aturan pasal tentang pendidikan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 28 UUD 1945 (dari Pasal 28A s.d Pasal 28J UUD 1945), diterangkan bahwa setidaknya ada 10 hak mendasar yang melekat pada manusia. Adapun beberapa hak mendasar atau hak asasi manusia di Indonesia, antara lain hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi, hingga hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pasal tentang pendidikan sebagai hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 28C UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 28C UUD 1945 adalah:
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Lebih lanjut mengenai pasal UUD tentang pendidikan, secara khusus pasal tentang pendidikan ini dimuat lebih menyeluruh dalam Pasal 31 UUD 1945. Penempatan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan ini dilakukan pada amandemen keempat UUD 1945.
Adapun bunyi Pasal 31 UUD 1945 tentang pendidikan ini mengatur sejumlah ketentuan berikut.
Merujuk sejumlah ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Negara juga memiliki otoritas untuk mendesak terciptanya perlindungan hukum terhadap hak asasi setiap warga negara khususnya untuk mendapatkan pendidikan.
Hadirnya hak untuk mendapatkan pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia, yang melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Pendidikan memiliki peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara serta merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia.
Simak ulasan hukum premium dan temukan koleksi lengkap peraturan perundang-undangan Indonesia, versi konsolidasi, dan terjemahannya, serta putusan dan yurisprudensi, hanya di Pusat Data Hukumonline. Dapatkan akses penuh dengan berlangganan Hukumonline Pro Plus sekarang!
Pasal 378 KUHP – Penipuan Umum
Pasal 378 KUHP adalah pasal utama yang mengatur tentang tindak pidana penipuan dalam hukum pidana Indonesia. Pasal ini mengatur mengenai tindakan yang dilakukan dengan cara menipu seseorang untuk mendapatkan keuntungan secara tidak sah. Isi Pasal 378 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, atau dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu, atau memberikan hutang, yang dapat mendatangkan kerugian, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Penjelasan: Pasal ini mengatur tentang penipuan dengan menggunakan modus operandi seperti menyamar menggunakan identitas palsu, memberikan informasi yang salah, atau melakukan tindakan yang membujuk korban untuk menyerahkan harta benda atau memberikan pinjaman. Hukuman bagi pelaku penipuan ini adalah penjara maksimal 4 tahun.
Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Penipuan dalam Hukum Pidana Indonesia
Penipuan merupakan salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana pelaku mencoba untuk memperoleh keuntungan dengan cara menipu atau membujuk seseorang untuk menyerahkan sesuatu yang berharga. Dalam sistem hukum Indonesia, penipuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memberikan sanksi terhadap siapa saja yang terbukti melakukan penipuan. Berikut ini adalah beberapa pasal yang mengatur tentang penipuan dalam hukum pidana Indonesia.
Pasal 372 KUHP – Penggelapan dalam Jabatan
Meskipun tidak sepenuhnya masuk dalam kategori penipuan, pasal ini mengatur tentang penggelapan yang berkaitan dengan jabatan atau kepercayaan, yang seringkali juga disertai dengan tindakan penipuan. Isi Pasal 372 KUHP:
“Barang siapa yang dengan sengaja menggelapkan barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang dipercayakan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Penjelasan: Pasal ini berkaitan dengan penggelapan yang sering terjadi dalam konteks pekerjaan atau jabatan. Meskipun bukan penipuan dalam arti yang luas, penggelapan ini bisa melibatkan manipulasi atau kebohongan terkait harta yang dikelola.
Unsur-unsur Pasal 311 KUHP
Unsur-unsur tindak pidana fitnah dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah:[1]
Kemudian, pada dasarnya delik fitnah dalam Pasal 311 KUHP merupakan delik kelanjutan dari delik pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP. Penjelasan selengkapnya mengenai tindak pidana pencemaran nama baik dapat Anda baca pada artikel Bunyi Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik.
Baca juga: Syarat Agar Tuduhan Dapat Dianggap Sebagai Fitnah